Arsitektur gedung baru DPR dinilai tidak mencerminkan budaya Indonesia. Padahal, gedung yang menelan biaya Rp 1,6 triliun itu adalah bangunan penting yang selayaknya bisa menjadi landmark "rumah rakyat" Indonesia.
"Rancangan gedung baru DPR itu bagus, modern, tapi sayang tidak mencerminkan budaya Indonesia," ungkap Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Endi Subijono dalam perbincangan dengan Kompas.com, Minggu (6/9/2010).
Ia berpendapat, di luar perdebatan soal biaya yang menuai kontroversi, gedung parlemen seyogianya memiliki sebuah filosofi yang mencerminkan nilai lokalitas Indonesia. DPR sebagai salah satu fondasi sistem demokrasi Indonesia selayaknya memiliki gedung yang bisa menjadi landmark keindonesiaan. "Rancangan gedung itu terlalu netral, modern, tapi kehilangan lokalitasnya," ujarnya.
Menurut dia, kekayaan desain arsitektur lokal sangat mungkin diterapkan dalam rancang bangun sebuah gedung modern. Wisma Dharmala di Jalan Sudirman adalah satu contoh lokalitas yang terpresentasikan dalam wujud modern.
Gedung yang dirancang arsitek Amerika Paul Rudolph pada tahun 1986 menggunakan idiom atap sebagai ciri keindonesiaan yang mencolok. Bentuk atap yang memberi kesan rumah bertumpuk itu membuat Wisma Dharmala menjadi sangat dekoratif.
Jauh sebelum itu, arsitek Indonesia kenamaan, Suyudi, sudah menerapkan idiom atap pada rancangan gedung Kedutaan Besar Perancis di Jalan Thamrin yang dibangun tahun 1974 . Suyudi menggunakan pola atap sebagai cincin yang tidak terputus.
Endi yakin, jika saja rancangan gedung baru disayembarakan, pasti ada rancangan-rancangan arsitek Indonesia yang mencerminkan keindonesiaan. IAI pernah menggagas konsep sayembara pembangunan gedung baru DPR, tapi gagasan itu tampaknya diabaikan parlemen.
sumber: kompas.com
Promosikan Usaha Anda di Iklan Gratis 88DB.com
0 Response to "Arsitekturnya Gedung DPR Tidak Cerminkan Indonesia"
Posting Komentar